Jumat, 21 Januari 2011

Ramadhan di Masjd Jeruk (habis)

RAMADAN esok disambut dengan suka-cita di perumahan ini. Sejak kemarin tampak dijemur sajadah, mukena, sarung dan baju koko. Diangin-angin pula peci putih, hitam dan warna-warni. Keluarga-keluarga muda bahkan memajang di muka rumah banner ukuran 150 cm x 50 cm yang isinya serupa: ucapan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”, dengan foto keluarga. Seminggu lalu remaja-remaja memasang spanduk besar “Marhabban ya Ramadhan” di pagar masjid. Pako sudah memangkas pohon-pohon setinggi 1,5 meter di seputarnya, mengecat pagar besinya, dan membersihkan karpet-karpet panjang motif sajadah.


Lepas Ashar aku duduk di teras masjid. Seorang perempuan datang menggelar sajadah, sejurus dengan mimbar — di masjid ini tak ada hijab dan jemaah perempuan sholat di luar. Kukira akan sholat. Nyatanya segera pergi setelah menemui Pako yang masih mematikan enam kipas angin baling-baling di dalam. Datang pula para pembantu perempuan dan ibu-ibu tua atau setengah tua, meletakkan sajadah-sajadah yang mereka bawa, lalu menemui Pako dan pulang.



Aku segera mengerti.


“Lima tahun saya di sini, begitu yang terjadi, Pak Haji.” Pako menghampiriku. “Bahkan jauh sebelumnya. Saya tahu itu dari para bapak jemaah di sini. Bahkan pernah ada yang ribut karena tempatnya ditempati. Padahal seharusnya Bu Kadarwati tahu Bu Yola orang baru dan belum tahu kebiasaan di sini. Posisi-posisi itu tak berubah kecuali ada yang sakit atau meninggal. Padahal seharusnya tidak begitu, ya, Pak Haji?”


Aku tersenyum.


“Tapi alhamdulillah.” Pako mengeluarkan lima-enam amplop dari saku baju koko, “Saya jadi punya tambahan untuk ngirim ke kampung. Ini rejeki saya sebagai marbot. Mereka cuma pesan, jangan sampai tempatnya ditempati orang.”


“Yang pertama datang tadi siapa?”


“Pembantu di rumah Ketua DKM. Sajadah itu milik istrinya.”


Orang-orang di sini memang menggelikan sekaligus menyedihkan.


2


MALAM pertama tarawih disambut dengan suka-cita. Lepas Maghrib jalan-jalan penuh orang. Anak-anak, remaja, orang dewasa, orang setengah tua, orang sudah tua, lelaki, perempuan, berlomba lebih dahulu tiba di masjid. Orang-orang yang tak pernah terlihat di masjid tiba-tiba bermunculan. Aku muak dengan pemandangan ini. Aku tahu akan menjadi seperti apa. Di semua masjid dan musholla, malam pertama tarawih memang penuh orang. Seakan haram dilewatkan bahkan oleh mereka yang tak pernah sholat sekalipun. Lalu setelah itu apa? Semakin puasa berjalan dan mendekati Lebaran, mereka akan teratur mundur dari shaf lantaran tarawih dianggap cuma sunat.


Aku senang masjid ini hidup. Namun alangkah eloknya bila terus hidup selama Ramadhan dan setelahnya. Tak hanya lima-enam hari Ramadhan. Sebab kutahu hari-hari lain kering jemaah. Dzuhur dan Ashar setengah shaf. Maghrib dan Isya satu shaf. Subuh seperempat shaf—Itu pun orang-orang tua.


“Lima tahun saya di sini, begitu yang terjadi, Pak Haji.” Pako menghampiriku. “Biasa, cuma lima-enam malam. Selebihnya sama dengan tempat lain.”


3


LEBARAN esok disambut dengan suka-cita. Rumah dirapikan, kue disediakan, pakaian dan alas kaki disiapkan. Dan sejak empat hari kemarin sudah dibuka pos penerimaan zakat fitrah di Masjid Jeruk (sesungguhnya bernama Masjid Al-Muwahiddin. Disebut begitu karena berada di Jalan Jeruk). Namun, aku membatalkan rencana membayar zakat untuk aku dan istriku di sini, karena dilayani anak umur 12-20 tahun. Mereka saling pandang waktu aku minta dilayani orang dewasa. Lalu seorang berbadan pendek-gempal berkulit hitam, sekitar 18-20 tahun umurnya, dan tampak begitu percaya diri, bangun dari tidurnya di dalam masjid setelah seorang yang jauh lebih muda menepuk-nepuk punggungnya dan berbisik. Ia menghampiriku. Tersenyum dan menyalami namun matanya tak bersahabat. Ia duduk model taheeyat pertama di sebelahku dan menjelaskan, bahwa sejak berdirinya, panitia zakat di masjid ini memang selalu remaja. Tidak pernah orang dewasa.


“Bapak orang baru di sini?”


“Tiga bulan.”


Aku tak habis pikir. Ijab kabul zakat fitrah yang seharusnya sakral, menjadi sepele di masjid ini. Baru sekali aku melihat. Terus-terang aku muak. Sama muak ketika seorang remaja memberi sambutan sebelum Ketua DKM berceramah agama ba’da Isya di malam pertama tarawih—hingga malam terakhir nanti. Kemana orang dewasa di sini? Kemana para pengurus masjid? Aku senang masjid ini hidup. Namun alangkah eloknya bila amil dan perkara naik mimbar tetaplah orang dewasa. Bila maksudnya pembelajaran, cukup memperhatikan. Di kampung aku kecil, remaja memang dilibatkan untuk masalah zakat dan kegiatan agama. Namun hanya untuk mengangkat dan membereskan ini-itu. Bukan ijab kabul dan naik mimbar!


“Lima tahun saya di sini, begitu yang terjadi, Pak Haji.” Pako menghampiriku. “Pun saat pembagiannya nanti malam. Rusuh.”


“Anak itu siapa?”


“Cucu Ketua RW, Pak Haji. Tidak tinggal di sini tapi ketua remaja masjid di sini. Tiap seminggu sebelum Lebaran nginep di rumah kakeknya. Baru masuk kuliah.”


4


MALAM Lebaran disambut dengan suka-cita. Lepas Maghrib jalan-jalannya penuh orang. Mereka yang tak pernah terlihat, tiba-tiba bermunculan. Di langit berkali-kali meledak kembang api warna-warni. Aku muak dengan pemandangan ini. Aku tahu akan menjadi seperti apa. Di mana-mana tempat, malam Takbiran memang pasti penuh orang. Seakan haram dilewatkan bahkan oleh mereka yang tak pernah puasa sekalipun. Lalu setelah itu apa? Semakin jam berjalan dan mendekati pagi, mereka akan teratur mundur dari keramaian lantaran kehabisan tenaga dan keinginan pula untuk sholat Ied, karena dianggap cuma sunat.


Aku senang orang merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa—meski banyak pula yang bergembira entah atas apa. Namun alangkah eloknya bila masjid dan musholla dihidupkan pula dengan ber-takbir. Tak hanya hura-hura di jalan dan keramaian. Sebab kutahu di semua masjid dan musholla, hanya beberapa orang saja ber-takbir—dengan anak-anak yang menjerit-jerit dan berlari-larian di terasnya.


Aku masih duduk di teras masjid. Di rumah, istriku hanya ditemani pembantu. Besok empat anakku akan datang bersama istri, suami, dan anak-anak mereka. Pintu gerbang utara dan timur tumben dikunci. Hanya pintu sebatas badan di selatan yang dibuka, tumben dijaga Pendi, hansip perumahan ini. Jemaah sholat pulang lewat sana. Seratus lebih orang yang tak kukenal—anak-anak remaja, orang dewasa, orang setengah tua, orang sudah tua, lelaki, perempuan—duduk-duduk di pinggir lapangan basket dan bersandar di pagar masjid. Pakaiannya lusuh, wajahnya lelah, rambutnya kusut. Banyak yang menenteng kresek hitam menggembung dan tampak berat. Remaja-remaja di sini berdiri di halaman dalam masjid.


“Para mustahiq , Pak Haji.” Pako menghampiriku. “Dari pasar, terminal, stasiun, kampung-kampung.”


“Kenapa tak pegang kupon zakat?”


“Lima tahun saya di sini, begitu yang terjadi, Pak Haji.”


“Zakat diminta?!” Aku terheran-heran.


“Padahal dalam Al-Qur’an tak ada ayat yang menganjurkan menjadi penerima dan peminta zakat, ya, Pak Haji? Hanya pemberi dan pembayar zakat. Dan lucunya tiap tahun pengurus DKM selalu mengeluhkan pembagian zakat yang rusuh, sama seperti saat pembagian daging qurban. Padahal keledai saja tak mau jatuh dua kali di lubang yang sama.”


Aku diam.


“Di kampung saya, seminggu sebelum Lebaran panitia zakat akan menyerahkan kupon kepada para Ketua RT menurut daftar mustahiq yang ada. Nanti beliau yang meneruskan. Pembagian zakat selalu malam takbiran. Kadang, panitia sendiri yang membagi zakat dari rumah ke rumah, dengan motor atau gerobak, sesuai daftar mustahiq dari para Ketua RT. Mulia, tepat sasaran, dan tidak rusuh. Di kampung kami tidak ada orang yang meminta zakat, tidak ada orang yang minta dikasihani. Di kampung kami malu dan harga diri adalah segalanya.”


5


PEMBAGIAN zakat fitrah usai jam sepuluh. Para mustahiq yang masuk dari pintu utara dan keluar dari pintu timur, setelah menerima zakat kembali mengantri di pintu utara. Zakat dititipkan pada teman. Bergantian demikian. Tak bisa dicegah, tak mau dicegah. Mereka lebih galak dan beringas.


Aku masih duduk di teras masjid, memandang lapangan basket, tempat sholat Ied esok. Takbir pun akhirnya berkumandang di lewat speaker di empat penjuru. Suara anak-anak. Semaunya dan seadanya, bercanda dan tertawa-tawa.


Aku memanggil seorang anak. Minta dihentikan dan diganti orang dewasa. Lalu seorang berumur sekitar 20-25 tahun dibawahku (aku 65 tahun), dan tampak begitu percaya diri, bangun dari tidur-tidurannya di dalam masjid setelah seorang anak menepuk-nepuk punggungnya dan berbisik. Ia menghampiriku. Tersenyum dan menyalami namun matanya tak bersahabat. Wajah dan postur tubuhnya mirip ketua remaja masjid. Ia duduk model taheeyat pertama di sebelahku dan menjelaskan, bahwa sejak berdirinya, takbir di masjid ini selalu dilakukan remaja. Tak pernah orang dewasa.


“Anak ente yang tadi teriak-teriak di speaker mengatur pembagian zakat?”


“Ya, sulung. Ketua remaja masjid.” Dia menjawab penuh percaya diri, “Bima, namanya.”


“Mana bisa orang lapar begitu banyak diatur?”


Aku kembali memandang lapangan basket. Takbir tetap berkumandang, dan bocah-bocah umur 8-15 tahun tetap menjerit-jerit dan berlari-larian di terasnya. Berulang-ulang mereka melafazkan “Allahu Akbar Allahu Akbar. Laillaha ilallahu Allahu Akbar. Allahu Akbar walillah ilham.” Padahal ilham seharusnya hilhamd dan lafaz takbiran lebih panjang daripada itu.


Aku tak habis pikir. Takbir yang seharusnya sakral, menjadi sepele di masjid ini. Baru sekali aku melihat. Terus-terang aku muak. Sama muak ketika tahu esok sebelum sholat Ied, remaja pulalah yang akan mengumandangkan takbir. Kemana orang dewasa di sini? Kemana para pengurus masjid? Aku senang masjid ini hidup. Namun alangkah eloknya bila pelafaz takbir tetaplah orang dewasa. Bila maksudnya pembelajaran, cukup memperhatikan. Di kampung aku kecil, remaja memang dilibatkan untuk malam takbiran dan hari Lebaran. Namun hanya untuk mengangkat dan membereskan ini-itu. Bukan ber-takbir!


“Lima tahun saya di sini, begitu yang terjadi, Pak Haji.” Pako menghampiriku. “Besok pun di lapangan basket begitu. Tak khidmat, tak berwibawa, asal saja.”


Orang-orang di sini memang menggelikan sekaligus menyedihkan.


Ash-Shuffah, Malam
Cerpen: Chairil Gibran Ramadhan

Comments :

0 komentar to “Ramadhan di Masjd Jeruk (habis)”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by blogtjahmodjo

Template by Blogger Templates | Powered by Blogger